widgets

Jangan Simpan Rasa Dendam


Anda pernah disakiti seseorang dan sulit untuk memaafkannya? Jangan terlalu lama menyimpan rasa sakit hingga menimbulkan dendam. Menyimpan rasa dendam kepada seseorang tidak ada manfaatnya. Dendam kepada seseorang justru bisa berdampak buruk bagi kesehatan. Sebaliknya, memberikan maaf akan membuat hati lega dan membuat energi positif dalam diri Anda.

"Kita semua memiliki orang-orang yang tidak kita suka, apakah berdampak buruk dengan menyimpan perasaan marah pada mereka?" ujar Psikolog, Seth Meyers. Menurut Meyers, ada beberapa alasan mengapa menyimpan rasa dendam itu tidak baik bagi kesehatan.

Membuat stres
Sebuah studi menunjukkan, menyimpan rasa dendam dan berpikir negatif, tidak bagi kesehatan mental. Menyimpan rasa dendam juga dapat meningkatkan rasa cemas hingga frustasi. Penelitian yang diterbitkan di Jurnal Psychological Science menemukan bahwa berpikiran negatif bisa memicu stres. Denyut jantung dan tekanan darah Anda akan lebih tinggi daripada mereka yang mau memberikan maaf.

Berdampak pada kesehatan fisik
Rasa dendam ternyata tak hanya berdampak buruk bagi pikiran, melainkan kesehatan fisik. Para peneliti dari Medical College of Georgia menemukan bahwa orang yang mengaku menyimpan rasa dendam selama bertahun-tahun berisiko terkena  penyakit jantung, tekanan darah tinggi, nyeri lambung, dan sakit kepala.

Coba untuk memaafkan
Ketika Anda memilih untuk bermusuhan kepada seseorang, coba tanyalah pada diri anda sendiri, apakah seseorang ini penting bagi kehidupan Anda. Bicarakan lah terus terang ketika Anda merasa terluka atau sakit hati. Jangan dipendam terlalu lama di hati. Ini bisa membantu Anda melupakan rasa sakit yang pernah ada. Anda juga bisa kembali fokus terhadap hal yang lebih penting di kehidupan Anda. 

Memaafkan mungkin sulit untuk Anda. Coba lah untuk melupakan rasa sakitnya terlebih dahulu. Energi negatif dalam diri Anda akan hilang serta membuat sehat jiwa dan raga.
Sumber : http://health.kompas.com/read/2014/09/19/082652023/Jangan.Simpan.Rasa.Dendam

Perusahaan Pers Turut Andil Perburuk Citra Wartawan

Citra jurnalis atau wartawan semakin buruk di mata public. Wartawan identik dengan uang, jika ada wartawan narasumber harus mengeluarkan uang. Para kepala sekolah, kepala desa di pelosok, banyak yang trauma bila didatangi wartawan. Mereka sering mendapat intimidasi atas sebuah kasus yang belum tentu kasus.
Penampilan orang yang mengaku wartawanpun seperti preman. Rambut berkucir, jaket lusuh, tangan bertato, mata merah dan mulutnya bau alkohol dan bicara ngawur. Datang ke lokasi proyek hanya meminta japrem atau menjual buku kode etik jurnalistik dan UU Pers dengan harga tak rasional.
Itu citra yang sering tergambar di benak masyarakat yang belum pernah atau jarang bertemu dengan jurnalis yang benar-benar bekerja secara professional.
Meski para jurnalis professional tak semuanya bersih dari praktik kotor, tentu masih banyak jurnalis yang tidak menggadaikan idealismenya. Ia menjadi jurnalis sebagai pekerja biasa, digaji seperti karyawan pabrik kata-kata pada umumnya.
Pertanyaannya mengapa praktik kotor wartawan terjadi? Ada beberapa hal yang menurut saya sangat krusial. Pertama, kondisi internal perusahaan pers sendiri. Pasca reformasi, untuk membuat koran, majalah atau media online tidak lagi perlu izin. Atas dasar kebebasan Pers semua orang, komunitas boleh membuat penerbitkan.
Dengan kemudahan itu, membuat para pendiri kurang memperhatikan kondisi keuangan perusahaan. Pers, di lain pihak merupakan lembaga bisnis. Ia layaknya pabrik, harus menghidupi karyawannya, produksi membiayai cetak juga menjalankan opersional sehari-hari yang tentu dengan biaya uang.
Tak jarang, Koran terbit hanya menjelang upacara ulang tahun pemerintahan daerah. Isinya berisi ucapan selmat dan profil pejabat dan kepala daerah. Banyak juga dari penerbitan Koran kecil, boro-boro bisa menggaji wartawannnya, malah sebaliknya, si wartawan harus menjualkan Koran hasil karyanya. Bahkan konon, si wartwan harus membayar jika beritanya ingin dimuat. Akibatnya dapat ditebak, si wartawan bersangkutan harus meminta kembali uang secara terang-terangan dari narasumbernya.
Model wartawan seperti ini, mereka membeli kartu pers kepada perusahana tempat bekerjanya, dengan harga ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Padahal di perusahan pers yang benar, kartu pers dikeluarkan jika sudah benar-benar lulus sebagai wartawan dengan seleksi ketat tentunya.
Kartu pers sebagai senjata saat beraksi di lapangan, untuk meyakinkan kepada narasumber calon korban, bahwa dirinya seorang wartawan tulen. Sayang, masyarakat banyak yang masih beranggapan jika keaslian seorang wartawan muncul pada kartu pers. Bisa jadi, kartu pers dicetak sendiri atau minjam dari temannya.
Dari kondisi seperti ini, wartawan bukan lagi menjadi seorang pencerah kepada public melalui karya beritanya. Malah momok menakutkan, atas nama kebebasan pers dan informasi. Pers menjelma menjadi tukang peres.
Kedua, ini yang menjadi esensi tulisan judul di atas. Bagaimana tidak, perusahaan pers ternama nasional, baik TV, cetak maupun online, justeru memberi andil besar terhadap hilangnya citra baik wartawan. Salah satu yang merugikan wartawan di daerah, sistem kerja dengan status wartawan kontributor.
Kontirbutor dimaksudkan, seorang wartawan daerah yang dikontrak oleh TV, Koran, majalah atau media online untuk melaporkan peristiwa yang terjadi. Kontrak resmi berlaku satu atau dua tahun tergantung masing-masing perusahaan. Hanya saja, mereka tidak digaji plat setiap bulannya. Melainkan, diberi honor sesuai dengan berita yang dimuat, yang tayang di TV atau terbit di Koran, majalah atau media online.
Besaran honor mereka bereda-beda. Mulai per berita Rp5000, Rp25.000 untuk online, hingga Rp10.000 Rp75.000 per berita media cetak atau lebih besar dari itu. Untuk berita TV, honor per tayang mulai Rp25.000 Rp400.000 sesuai media mereka juga tingkat ekslusifitas berita.
Beruntung bagi media yang memberi kelonggaran kategori berita yang bisa tayang. Apapun berita berarti uang bagi sang wartawan. Dengan model begitu, ada kalanya honor kontributor bisa melebihi gaji wartawan pegawai tetap, karena banyak berita yang dimuat.
Hanya saja untuk media nasional, standar berita supaya bisa tayang cukup ketat. Hanya isu-isu tertentu yang bisa naik. Akibatnya dalam satu bulan, hanya beberapa berita yang tayang yang berdampak pada jumlah rupiah yang diterima seorang wartawan kontributor.
Pekerjaan wartawan cukup menghabiskan waktu dan tidak bisa diprediksi. Jika seorang wartawan mencari usaha lain yang masih memerlukan tenaga dan pikirannya, dapat dipastikan, momen, peristiwa atau isu-isu penting malah tertinggal. Jika lolos, itu akan menjadi pertanyaan tersendiri dari atasan mereka bahkan terkena semprot.
Di sini ada kebingungan dari para kontributor. Giliran mereka mati-matian mencari berita hingga habis waktu, tenaga dan biaya, berita tidak tayang. Sementara dia sudah mengeluarkan biaya dan tenaga yang juga tidak sedikit. Mulai biaya traportasi, koneksi internet, pulsa dan uang makan, mereka harus tanggung sendiri. Apalagi wartawan kontributor yang sudah berkeluarga, selain harus membiayai dirinya juga membiayai keluarga yang ditinggalkan di rumah.
Dampak lain, para jurnalis kontrbutor tidak lagi memikirkan kualitas karya melainkan yang penting tayang. Tak jarang berita melenceng dari fakta, demi mengejar sensasional. Isu-isu tertentu yang menjadi favorit masyarakat selalu diburu. Mungpung lagi ramai, kesempatan tayang tinggi.
Dengan kondisi demikian, setegar apapaun moralitaa jurnalis, sepertinya dipaksa harus membenarkan praktik-praktik curang jurnalistik. Seperti menerima isi amplop, menguangkan kasus bahkan taraf esktrem memeras narasumber. Bukankah di kartu pers sudah tertera jelas Dilarang menerima dalam bentuk apapun dari narasumber.
Para kontibutor juga banyak yang tidak mendapat asuransi kesehatan, THR serta tunjangan lainnya. Mereka murni mendapat uang dari media tempat bekerja dari berita yang tayang. Masih beruntung buruh harian penjaga toko kelontongan, asal masuk dia pasti dapat uang. Sementara bagi wartawan kontirbutor, sebanyak apapun berita yang mereka buat tetapi tidak tayang atau dimuat, ia tidak menjadi uang.
Para kontributor juga jangan harap bagaimana menaikkan status karirnya untuk menduduki jabatan tertentu. Tak heran, jika seorang wartawan puluhan tahun masih dalam posisi dan nasib yang sama. Miskin.ha2.
Beruntung wartawan yang bisa nyambil usaha. Seperti jadi penulis lepas, membuat buku, membuat bengkel, jasa cucian kendaraan, punya kontrakan rumah atau jadi rekanan instansi pemerintahan atau perusahaan. Rasanya cara ini cukup elegan ketimbang peras narasumber, bisnis kasus sebagai ladang uang untuk mencukupi kebutuhannya. Dari usaha tersebut, banyak wartawan kontributor yang beralih menjadi pemborong atau rekanan pemerintah dan meninggalkan dunai kewartawannya.
Kondisi di atas nampaknya harus menjadi perhatian semua pihak. Jangan sampai atas nama kebebasan pers, para pekerja pers malah ditelantarkan. Perhatian tidak cukup keprihatinan dari dari para kontirbutor yang cemas dengan nasib dan profesinya, melainkan para pemilik perusahaan pers situ sendiri. Mereka jangan mau enak, membayar tenaga kerja murah, atau memanfaatkan tenaga kerja yang melimpah.
Bila selama ini pers tajam terhadap permasalahan di luar dirinya mengapa tidak tajam pula terhadap masalah kronis yang melilitnya? Pers saat ini bukan lagi pers perjuangan seperti masa perang kemerdekaan, melainkan industry. Sebagai industry penghasil uang, sudah semestinya pula para wartawan contributor diperlakukan sebagai karyawan yang punya hak mendapat kesejahteraan layaknya pekerja di dunia industry dan bukan seperti aktifis sukarelawan.
Perusahan pers sama dengan perusahaan lain. Ia butuh sumber daya manusia atau pekerja yang karenanya harus taat terhadap undang - undang ketenagakerjaan. Mereka tidak mesti cuci tangan terhadap kesejahteraan, dengan dalih status mereka sebagai wartawan kontributor. (*)
Sumber : http://abangoji.blogdetik.com/2013/08/24/perusahaan-pers-turut-andil-perburuk-citra-wartawan/
Author by abangoji

Tanggung Jawab Manusia Terhadap Allah SWT dan Agamanya


Manusia adalah hamba Allah, hamba yang diharuskan selalu berbakti kepada majikannya yaitu tuhan semesta alam Allah SWT. Manusia sesungguhnya berada dalam kerugian yang teramat tak terdefinisi jika ia mengabaikan Tuhannya. Manusia itu fana. Tidak berarti di hadapan Allah SWT, melainkan hanya nilai ketakwaannya yang dapat membuat manusia itu bernilai dan dimuliakan oleh Allah SWT. Segala ketakwaan hanya akan bernilai dan diterima oleh Allah SWT jika berlandaskan ketulusan mengerjakannya berdasarkan landasan ketauhidan kepada Allah SWT. Beribadah karena Allah SWT, bukan karena nafsu yang dirasuki Syaitan.
Bedakan mana yang disebut beribadah karena Allah SWT dan beribadah karena nafsu.
 Posisi manusia sebagai hamba Allah harus benar-benar diusahakan dan diperjuangkan. Setiap individu manusia mempunyai tanggung jawab terhadap tugas yang diperintahkan oleh Allah SWT. Tugas yang harus dijalankan dengan keimanan dan kecintaan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Kelak manusia akan dimintai pertanggungjawabannya, tetang apa yang telah ia lakukan dan bagaimana ia menjalankan tugas sebagai hamba-Nya.
“Wahai orang-orang yang beriman ! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat yang kasar dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (QS. At-Tahrim : 6) Tugas yang dipertanggung jawabkan adalah ibadah dan ketakwaan yang manusia persembahkan hanya kepada Allah SWT.
Tuntutan ibadah dan ketakwaan tersebut bukan berarti bahwa Allah memerlukan ibadah dan ketakwaan tersebut bukan berarti bahwa Allah memerlukan ibadah dan ketakwaan itu, sebab Allah akan tetap Maha Agung dan Maha Besar walaupun tak ada seorang pun manusia yang menyembahnya, Dia akan berdiri sendiri dengan Dzat-Nya sendiri. Allah tidak akan terjangkau oleh akal pikiran kita jika terus dipikirkan dan sesungguhnya memikirkan bentuk fisik Allah adalah suatu hal yang mustahil. Allah tidak sama dengan Makhluk ciptaannya. Ia bukanlah sesuatu. Namun Ia adalah Allah SWT yang berdiri sendiri dengan Dzat-Nya sendiri. Kata Dzat tersebut jangan diartikan sama dengan Dzat kimia. Sudah tentu keliru.
Berikut perincian tanggung jawab manusi terhadap allah swt adalah seperti berikut;
1. Mengabdikan diri kepada Allah swt dengan beriman dan melakukan amal soleh mengikut syariat yang ditetapakan oleh agama.
2. Melaksanakan amanah Allah swt memelihara dan mengawal agama Allah serta ajaran Allah swt seperti FirmanNya; Surah Al Ahzab; 72 “Sesungguhnya Kami telah kemukakan tanggung jawab amanah (Kami) kepada langit dan bumi serata gunung-gunung (untuk memikul) maka mereka enggan memikulnya dan bimbang tidak dapat meyempurnakannya (kerana tidak ada pada mereka persediaan untuk memikulnya) dan (pada ketika itu) manusia (dengan persediaan yang ada padanya) sanggup memikulnya. (ingatlah) sesungguhnya tabiat kebanyakan manusia adalah suka melakukan kezaliman dan suka pula membuat perkara-perkara yang tidak patut dikerjakan.”- (Surah Al Ahzab: 72)
3. Melaksanakan amar makruf, nahi mungkar, yaitu sebagai khalifah Allah swt bertanggung jawab menyebarkan Islam.
4. Menjaga kesucian agama, dengan menegakkan Islam dengan berdakwah dan melaksanakan syariat Islam  yang telah ditetapkan agama.
5. Bertanggung jawab menjauh dan memelihara diri dan keluarga dari azab neraka


Rujukan : http://jurnob2012.wordpress.com/2013/06/04/qoribatul-choiriyah-tanggung-jawab-manusia-kepada-allah/